Kamis, 12 November 2009

Tip Agar Tak Boros Berobat




Anggaran berobat sering melebihi anggaran untuk makan. Bukan saja di negara maju, di negara berkembang bahkan lebih dari yang bisa dianggarkan. Tak jarang pengeluaran buat berobat melebihi yang seharusnya karena tidak cerdik menata penyakit dan kurang cerdas menjadi pasien. Untuk itu perlu kendali ongkos berobat. Apa misalnya?

Pemborosan dalam berobat bukan soal mampu atau tidak, melainkan efisien atau tidak. Artinya, mengeluarkan yang diperlukan saja. Boros itu bisa sebab kenakalan pihak medis, selain pasien rancu dalam berobat.

Pak Sur amat cermat berobat. Apa pun kata dokter ia turuti. Di satu sisi memang menyehatkan, meski bisa berarti pemborosan karena ia membayar lebih banyak untuk yang tidak perlu. Contohnya, menjalani pemeriksaan PSA (penanda kelainan prostat) setiap beberapa bulan, padahal tidak ada indikasi untuk itu.

Pasien sekarang cenderung lebih "pintar" dari dokternya. Tak jarang dokter didikte. Pasien memilih apa yang periu dikerjakan dokter. Sering ini bukan pilihan medis, alih-alih praktik dokter profesional. Kita menyebutnya tidak legeartis.

Opini pasien vs medis

Opini pasien belum tentu seturut opini medis. Yang pasien pikirkan belum tentu sama dengan opini medis. Ini bagian dari pemborosan, misalnya minta semua diperiksa, walau tidak ada indikasinya.

Yang seperti itu kerap terjadi di rumah sakit yang jadi industri medis. Kita tahu tak semua rumah sakit ramah pada pasien, kalau tujuannya semata laba. Pasien jadi sapi perahan, melayani melebihi akal sehat medis. Semua unsur laboratorium diperiksa walaupun tidak diperlukan, sehingga biaya melambung. Pasien demam berdarah, misalnya, diperiksa jantung dan lainnya yang tak berkaitan dengan penyakitnya.

Kalau bisa memberi kamar lebih tinggi tarifnya, kenapa harus menawarkan kelas murah? Pasien yang terdesak untuk dirawat tidak punya pilihan, walau sebetulnya ini pemborosan.

Pemanfaatan alat pemeriksaan yang makin canggih bagi setiap pasien jelas tidak rasional kalau tujuannya bukan untuk melacak penyakit. Gejala overutilisasi alat periksa seperti ini bikin biaya berobat sangat boros.

Kalau ada obat sama yang lebih murah, mestinya itu yang dipilih. Jumlah obat yang diberikan pun sering melebihi kebutuhan.

Secara medis jelas ini tidak rasional. Memang tak selalu salah dokter. Pasien elit sering tidak sembuh kalau diberi obat murah karena faktor kepercayaan pasien amat menentukan kesembuhannya. Padahal, obat yang sama berhasil menyembuhkan pasien di desa dengan diagnosis sama.

Tidak selalu perlu ke dokter

Pasien mampu, gatal sedikit saja mencari dokter. Sikap lekas ke dokter begini juga tergolong pemborosan. Mengapa? Harus diingat, tubuh memiliki kemampuan self-limitting. Biarkan tubuh berkesempatan menyembuhkan (menormalkan kondisi tidak seimbang) karena perangkat untuk itu tersedia.

Kalau tekanan darah mendadak naik, tubuh punya mekanisme menurunkannya. Begitu juga sebaliknya. Lekas-lekas mengintervensi setiap ada perubahan keseimbangan, akan mengacaukan mekanisme pemulihan sendiri (homeostasis).

Orang zaman dulu tidak segera diintervensi medis karena kelangkaan layanan medis atau kemampuan berobat lemah. Ternyata tidak semua keluhan dan gejalanya berkembang menjadi penyakit.

Jadi sebetulnya tubuh memiliki kemampuan menyembuhkan. Kalau keluhan dan gejala yang sama menetap untuk waktu lama atau bertambah buruk, itulah acuan mencari bantuan dokter.

Selain mengacaukan mekanisme penyembuhan sendiri, lekas mengintervensi dengan obat atau tindakan medis berarti pemborosan. Pemberian obat membebani tubuh dengan zat kimiawi yang tidak diperlukan. Belum efek samping obatnya.

Hal lain lagi, tidak setiap obat perlu dihabiskan atau dibeli seluruhnya. Hanya antibiotika dan obat penyakit menahun yang memerlukan kesinambungan. Obat simptomatik harus dihentikan kalau keluhan dan gejala sudah tidak ada. Diminum kembali kalau keluhan dan gejala datang lagi.

Sikap Kritis dan Skeptis Pasien

Dalam berobat dengan dokter, posisi pasien berada di pihak yang lemah karena ketidaktahuan medis. Ada jurang kompetensi antara pasien dengan dokter, sehingga apa pun yang dokter minta dan berikan ketika berobat, pasien menurut saja; kendati secara medis bisa saja yang dokter beri dan lakukan itu tidak benar. Termasuk dalam meresepkan obat atau menetapkan suatu tindakan.

Tidak sedikit pasien jantung yang divonis dokter harus di-bypass, menolak operasi karena kondisi keuangan, ternyata jantungnya masih awet sehat sampai puluhan tahun kemudian. Kasus demikian mungkin diagnosis dokternya keliru, atau lantaran kenakalan dokter yang mengada-ada untuk tujuan profit tanpa indikasi medis.

Dokter memiliki kekuasaan tinggi untuk menentukan apa saja terhadap pasien. Karena itu, pasien perlu iebih kritis. Bahkan mungkin juga perlu skeptis terhadap apa yang dokter anjurkan, termasuk dalam menerima resep.

Untuk bisa kritis, pasien perlu memperluas wawasan dengan membaca, mengikuti seminar, ceramah, atau penyuluhan kesehatan. Dengan demikian pihak medis, termasuk dokter, tidak sembarangan atau masih beranggapan posisi pasien subordinat terhadap dokter dan pelayan medis.

Hanya karena pasien lebih kritis dan bisa skeptis dalam berobat, dokter tidak bisa seenaknya bertindak dan meresepkan obat. Cara demikian diakui mampu meredam kekuasaan dokter yang sangat tidak terbatas ketika berhadapan dengan pasiennya.

Hanya dokter bijak yang akan ingat dan mengakui bahwa pasien yang duduk di hadapannya juga punya hak. Hak untuk didengar keluhan penyakitnya, dan bertanya ihwal apa yang dokter berikan dan akan lakukan. Termasuk hak untuk menolak bila pasien menilai apa yang dokter tetapkan tidak bersesuaian dan memerlukan pendapat kedua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Klik Comment untuk komentar dan pertanyaan Anda. TERIMAKASIH.