Rabu, 02 Desember 2009

Kisah Dua Orang Ibu yang Anak Salah Seorang dari Keduanya Dicuri Srigala



Kisah ini memaparkan kepintaran Nabiyullah Sulaiman yang luar biasa dalam mengungkapkan kebenaran dalam sebuah persengketaan tanpa bukti-bukti yang membimbing kepada pemilik hak. Sulaiman menampakkan bahwa dirinya hendak membunuh bayi yang diperebutkan oleh dua orang wanita yang masing-masing mengklaim sebagai ibunya. Maka terbuktilah siapa ibu yang sebenarnya, yaitu yang merelakan anaknya diberikan kepada lawannya agar bayi itu tidak dibunuh demi menjaga hidupnya padahal lawannya itu bersedia menerima bayi yang akan dibelah dua oleh Sulaiman.
Teks Hadis

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Ada dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, 'Serigala itu mencuri anakmu.' Yang lain menjawab, 'Anakmulah yang dicuri oleh serigala.' Keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud, maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua. Keduanya pergi kepada Sulaiman dan menyamapkan hal itu. Sulaiman berkata, 'Ambillah untukku pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.' Wanita muda berkata, 'Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah anaknya.' Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda."

Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, inilah untuk pertama kalinya aku mendengar kata 'sikkin' (pisau). Kami selama ini mengatakannya 'mudyah' (pisau)."


Penjelasan Hadis

Kisah ini terjadi pada zaman Nabiyullah Dawud Alaihis Salam. Ada dua orang wanita yang berhukum kepadanya ketika seekor serigala membawa kabur anak salah seorang dari keduanya. Keduanya memperebutkan anak yang selamat. Masing-masing mengklaim bahwa ia adalah anaknya. Maka Nabiyullah Dawud berusaha untuk memberi hukum kepada keduanya. Usahanya membimbingnya kepada suatu hukum bahwa anak ini adalah anak wanita yang tua berdasarkan kepada dalil-dalil yang digunakan oleh Dawud.

Cara yang digunakan Sulaiman untuk mengetahui kebenaran adalah semacam firasat. Dia memutuskan hukum dengan berdasarkan alibi dan tanda-tanda pendukung, tidak terpaku hanya pada keterangan dan keadaan permukaannya saja. Seorang saksi dari keluarga wanita telah memberikan kesaksian atas kebenaran Yusuf dan kebohongan wanita itu dengan berpijak pada baju Yusuf yang robek di bagian belakang, "… dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, Maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar." (Yusuf: 26-28).

Para pengadil di kalangan kaum muslimin menggunakan beberapa dalil dan bukti-bukti yang unik untuk mengungkap kebenaran. Para pemakainya hanyalah orang-orang yang benar-benar pintar dan cerdik. Di antara pengadil yang terkenal dalam urusan ini adalah Ali bin Abi Thalib, Hakim Syuraikh, dan hakim Iyas. Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasatisy Syar'iyati telah menyebutkan banyak contoh penggunaan cara ini oleh beberapa hakim untuk membuka kebenaran, yaitu dengan firasat dan tanda-tanda. (Ath-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 27. Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/66).

Al-Qur'an telah memberitakan tentang kejadian lain ketika Nabiyullah Sulaiman menyelisihi bapaknya Dawud Alaihis Salam dalam masalah hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya, "Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu …" (Al-Anbiya: 78-79).

Nafsyu adalah melepas kambing di malam hari, sedangkan di siang hari disebut hamlu. Inti kisah ini adalah sebagaimana dikatakan oleh ulama tafsir, bahwa kambing kambing milik seseorang masuk ke kebun orang lain di waktu malam, dan ia memakannya sampai habis.

Maka keduanya berhakim kepada Dawud. Dawud memutuskan bahwa kambing-kambing harus diserahkan kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi kebun yang dimakan habis oleh kambing-kambing itu. Ketika dua orang yang berselisih ini melewati Sulaiman setelah keduanya keluar dari majlis pengadilan, Sulaiman tidak sependapat dengan hukum yang telah ditetapkan. Ketika Dawud bertanya tentang keputusannya dalam perkara ini, Sulaiman menyatakan kepadanya agar kambing-kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil susunya, bulunya dan anak-anaknya sesuai dengan hasil kebun yang musnah dilahap oleh kambing-kambing itu. Sementara pemilik kambing diserahi tanah, dia yang mengolahnya hingga kebun itu kembali seperti sedia kala sebelum dimakan oleh kambing-kambing itu. Jika kebun telah kembali seperti semula, maka ia dikembalikan kepada pemiliknya dan dia boleh meminta kambing-kambingnya. Inilah ringkasan dan perkataan para imam tafsir tentang penafsiran peristiwa yang terjadi dan disinggung oleh ayat di atas. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah.(Tafsir Ath-Thabari, 17/52. Tafsir Ibnu Katsir, 4/576).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Hafidz Ibnu Asakir menyebutkan tentang biografi Sulaiman bin Dawud sebuah kisah yang panjang dari Ibnu Abbas, yang intinya adalah bahwa ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israil. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat mesum, tetapi wanita ini menolak mereka semua. Mereka sepakat di antara mereka untuk membuat kesaksian palsu atasnya. Maka mereka bersaksi di hadapan Dawud bahwa wanita itu telah berbuat mesum dengan anjingnya yang telah ia latih untuk melakukan itu. Dawud pun memerintahkan agar wanita itu dirajam. Sore hari itu Sulaiman duduk di kelilingi para pembantunya. Dia mendramakannya. Dia duduk sebagai hakim, lalu empat orang pembantunya berpakaian seperti empat orang yang menuduh wanita itu dan seorang lagi berpakaian dengan pakaian. Empat orang bersaksi atas wanita itu bahwa dia telah berbuat mesum dengan anjingnya.

Sulaiman berkata, "Pisahkan mereka?" Sulaiman lalu bertanya kepada yang pertama, "Apa warna anjing itu?" Dia menjawab, "Hitam." Maka dia dipinggirkan. Sulaiman memanggil orang kedua dan menanyakan kepadanya warna anjing itu dan ia menjawab, "Merah." Yang ketiga mengatakan, "Kelabu." Dan yang keempat mengatakan, "Putih."Pada saat itu Sulaiman memerintahkan agar mereka dibunuh.

Hal ini diceritakan kepada Dawud. Dia langsung memanggil empat orang yang bersaksi atas wanita tersebut. Dawud bertanya kepada mereka secara terpisah tentang warna anjing itu. Jawaban mereka berbeda-beda, maka Dawud memerintahkan agar mereka dibunuh. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/578).


Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis

1. Keutamaan Nabi Sulaiman dan keterangan tentang apa yang diberikan oleh Allah berupa kecerdasan dan kemampuan untuk menggali hukum yang benar dalam perkara-perkara sulit yang terjadi pada masanya. Dan dalam hadits shahih disebutkan bahwa Sulaiman berdoa kepada Allah agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum-Nya, maka dia diberi.
2. Hakim atau pengadil boleh menampakkan kepada orang yang bertikai suatu perbuatan yang (sebenarnya) dia tidak ingin melaksanakannya, sebagaimana Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu menjadi dua, padahal sebenarnya dia tidak menginginkan hal itu. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran. Nasai telah membuat judul untuk hadis ini, "Keluasan bagi Hakim untuk berkata kepada sesuatu yang tidak dilakukannya, 'Lakukanlah'," agar terungkap kebenaran. (Sunan Nasai, 8/236).
3. Dengan berdalil kepada hadis ini Nasa'I membolehkan seorang Hakim membatalkan keputusan hakim lain, walaupun dia sama dengannya dalam hal ilmu atau lebih afdhal darinya. Ini mungkin kurang tepat, karena Sulaiman tidak memutuskan dan menetapkan. Dia hanya mengembalikan urusan kepada Dawud, lalu Dawud membatalkan keputusannya sendiri karena masukan dari Sulaiman. Wallahu A'lam.
4. Berdalil dengan faktor pendukung dan tanda-tanda untuk mengetahui kebenaran dalam perkara yang diperselisihkan adalah sesuatu yang dianjurkan pada saat tidak adanya dalil.
5. Kisah ini menunjukkan bahwa hakim yang alim diberi pahala, baik dia benar atau salah. Allah telah menetapkan bahwa Sulaimanlah yang mengerti rahasia keputusan hukum, walaupun demikian Allah tetap memuji Dawud dan Sulaiman, dan tidak mencela Dawud karena dia salah dalam mengambil keputusan, "Maka Kami telah memberkan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat, dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (Al-Anbiya: 79). Dan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam telah secara jelas menyatakan bahwa hakim yang benar keputusannya akan mendapatkan dua pahala. Adapun yang salah, maka cukup satu.
6. Para nabi memutuskan perkara-perkara yang terjadi pada mereka dengan ijtihad mereka. Oleh karena itu, hukum Dawud dan Sulaiman berbeda. Jika mereka memutuskan dengan wahyu, niscaya mereka tidak berbeda. Oleh sebab itu, Nabi bias jadi memutuskan tidak kepada pemilik hak sebagaimana hal itu telah disebutkan di dalam hadis shahih.
7. Kecerdikan dan pemahaman tidak berhubungan dengan umur. Si kecil bisa jadi mengerti dan mengetahui apa yang tidak diketahui si besar, sebagaimana Sulaiman (si anak) mengerti apa yang tidak dimengerti oleh Dawud (si bapak). Abdullah bin Umar mengetahui jawaban pertanyaan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, sementara sahabat-sahabat besar tidak memahaminya, padahal di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar.
8. Koreksi hadis terhadap penyimpangan Taurat menyangkut kisah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Klik Comment untuk komentar dan pertanyaan Anda. TERIMAKASIH.