Selasa, 15 Desember 2009

Apakah Perdukunan itu dan Bagaimana Hukumnya Mendatangi Dukun?



Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin

Jawaban:

Kata kahanah (perdukunan) diambil dari kata at-takahhun dengan wazan fa'aalah, yaitu mengira-ira dan mencari-cari hakikat dengan cara yang tidak ada dasarnya. Para masa jahiliyah cara semacam ini ditempuh oleh para kaum untuk berhubungan dengan syetan yang mencuri-curi berita dari langit, lalu syetan-syetan itu memberitahukannya kepada para dukun tersebut. Kemudian para dukun itu menukil kalimat yang dikirim oleh syetan-syetan dari langit itu, lalu mereka memberitahukannya kepada manusia. Jika apa yang dikatakannya itu sesuai dengan realitas, manusia takjub keapdanya dan mereka dijadikan sebagari referensi alam menetapkan hukum di antara mereka dan dalam menentukan arah masa depan. Maka dari itu kami katakana bawha dukun adalah orang yng mmberitahukan tentang sesuatu yang ghaib di masa yagn akan datang.

Orang yang datang kepada dukun dibagi menajdi tiga macam:

Pertama, orang yang datang kepda dukun tetapi tiak mempercayainya, maka ini hukumnya haram dan akibat dari tindakan itu, shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari, seperti yang dijelaskan alam hadis Shahih Muslim bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang mendatangi orang pintar(dukun) lalu bertanya sesuatu kepadanya maka shalatnya tidak diterima selama empat puluah hari atau empat puluh malam." (Diriwayatkan Muslim) (Ditakhrij oleh Muslim dalam kitab Alaihis salam-Salam, bab Tahrim Al-kahanah wa Ityan Al-Kahhan."

Kedua, datang kepada dukun, bertanya kepadanya dan mempercayai berita yang dikabarkannya, maka ini adalah kafir kepada Allah karena dia membenarkn orang yang mengaku mengetahui alam ghaib, sementara mempercayai orang yang mengaku mengetahui alam ghaib adalah mendustakan firman Allah, "Katakanlah, "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan." (An-Naml: 65).

Maka dari itu, dijelaskan dalam hadits shahih, "Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya maka dia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam." (Diriwayatkan At-Tirmidzi). (Ditakhrij oleh At-Tirmidzi dalam kitab Ath-Thaharah, bab "Ma Ja'a fi Karahiyati Ityani Al-Haidh", (135) Ibnu Majah, kitab Ath-Thaharah bab "An-Nahyu 'An Ityan Al-Haidh" (639) dan dishahihkan oleh Al-Bani rahimakumullahu dalam Al-Irwa' (6817).

Ketiga, datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya unatuk menjelaskan keadaannya kepada manusia bahwa itu adalah perdukunan, kebohongan dan kesesatan. Tindakan semacam ini tidak apa-apa, dalilnya adalah bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam di datangi oleh Ibnu Shayyad, lalu Nabi menyingkap sesuatu yang disimpan dalam dirinya dan Nabi bertanya kepadanya, apa yang disembunyikannya?" DIa menjawab, "Alaihis salam…"-maksudnya adalah asap. Lalu Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Pergi, niscaya kamu tidak akan bisa melampaui batas kemampuanmu." (DItakhrij oleh Al-Bukhari kitab Al-Janaiz, bab "Idza Aslama Ash-Shabi Famata hal Yashil 'Alaihi…" (1354); dan Muslim kitab Al-FItan bab "Dzikr Ibnu Sayyad, (2924).

Dengan demikian orang yang datang kepada dukun dapat dikatagorkan menjadi tiga:

Pertama, orang yang datang kepada dukun untuk bertanye kapdanya tanpa bermaksud mempercayainya dan tanpa bermaksud menjelaskan kedatangannya kepada masyarakat. Tindakan seperti ini haram hukumnya dan berakibat shalat tidak diterima selama empat puluh malam.

Kedua, bertanye kepadanya lalu mempercayainya, maka ini adalah kafir kepada Allah. Orang yang melakukan tindakan semacam ini hendaklah dia bertaubat dan kembali kepada Allah, jika tidak maka dia mati dalam keadaan kafir.

Ketiga, mendatanginya lalu bertanya untuk menguji dan menelaskan keadaannya kepada manusian, maka ini hukumnya tidak apa-apa.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 161- 163.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Klik Comment untuk komentar dan pertanyaan Anda. TERIMAKASIH.